Tak heran jika rating Indonesia oleh lembaga-lembaga pemeringkat bergengsi seperti S&P, Moody’s atau Fitch naik secara meyakinkan dalam setahun terakhir ke level investment grade. Kinerja ekonomi yang menyakinkan akan menjadikan Indonesia sebagai “save heaven country” yang akan mendorong investor asing (sektor keuangan maupun investasi asing langsung) mengalir deras ke tanah air.
Kondisi ini menjadi momentum luar biasa bagi merek-merek global untuk masuk dan semakin mengukuhkan dominasinya di pasar Indonesia. Pertanyaannya, bagaimana merek-merek lokal bertahan dan membangun daya saing menghadapi gempuran merek-merek global tersebut?
Matriks ini tersusun dari dua parameter yang terwakili oleh sumbu vertikal dan horisontal. Parameter pertama (di sumbu vertikal) mencerminkan tingkat kepemilikan terhadap keunggulan lokal (local advantages). Local advantages ini bisa bermacam-macam bentuknya, seperti: pengetahuan mendalam terhadap pasar lokal; kompetensi lokal yang unik; pemahaman terhadap karakteristik budaya lokal; relasi bisnis yang unik dengan partner lokal; dan sebagainya. Di sini merek lokal dapat kita petakan menjadi dua jenis yaitu pemain dengan keunggulan lokal yang tinggi (high local advantage) dan rendah (low local advantage).
Parameter kedua (di sumbu horisontal) mencerminkan kemampuan merek  lokal dalam mencapai kapasitas (di bidang manajemen, keuangan,  teknologi, dll.) yang setara dengan perusahaan global (biasa disebut “global best practice”).  Merek lokal yang sudah memiliki kapasitas global best practice tinggi,  artinya mereka sudah memiliki modal dan teknologi yang menyamai merek  global atau menjalankan praktek manajemen modern seperti menerapkan  Balanced Socrecard, pengelolaan SDM berbasis kompetensi  (competency-based HRM), atau mengadopsi modern brand management dalam  pengelolaan produk.
Dengan mengacu matriks tersebut maka kita dapat memetakan empat jenis  merek lokal berikut strategi generik yang harus mereka kembangkan dalam  menghadapi merek global di pasar domestik. Coba kita lihat  satu-persatu.
Die-Hard Flanker adalah merek lokal yang tidak  memiliki local advantage maupun kemampuan mencapai global best practices  yang kokoh. Merek lokal di posisi ini umumnya dikelola secara  tradisional dan produknya tidak memiliki keunikan lokal. Karena itu  mereka dihadapkan pada pilihan pelik untuk menyingkir (flank)  dalam menghadapi merek global dan mencari niche market di mana ia masih  bisa menguasainya. Jadi, merek lokal di posisi ini harus membangun  keunggulan di pasar-pasar yang diabaikan oleh merek-merek global.
Local Challenger adalah merek lokal yang memiliki  keunikan lokal tapi masih dikelola secara tradisional sehingga tidak  mampu menyamai merek global dalam hal manajemen, teknologi, keuangan,  dll. Pemain lokal seperti Martha Tilaar, Hotel Santika, Batik Keris, Viva, Pegadaian, Khong Guan,  dll. ada di posisi ini. Pilihan strategi yang bisa mereka ambil adalah  membangun keunggulan bersaing melalui keunggulan lokal yang dimilikinya.  Martha Tilaar misalnya, membangun keunggulan lokal  melawan raksasa kosmetik global dengan mengembangkan produk yang  berbasis kekayaan alam dan budaya (local wisdom) Indonesia.
Global Chaser adalah pemain lokal yang by-default  tidak memiliki keunikan lokal, tapi memiliki kapasitas manajemen,  teknologi, dan keuangan sejajar dengan merek-merek global. Pemain-pemain  lokal seperti Polygon, Polytron, Telkom, Pertamina Pelumas, Biofarma, Semen Gresik, Bank Mandiri ada di posisi ini. Pilihan strategi yang bisa mereka ambil adalah terus  mengejar kapasitas global best practices dan kalau perlu membangun daya  saing dengan masuk ke pasar-pasar regional/global. Global chasers  seperti Biofarma, Polygon, atau Pertamina Pelumas misalnya, mulai agresif membangun daya saing dengan memasuki pasar Asia, Eropa, dan Amerika.
National Champion adalah pemain yang memiliki  keunikan lokal, sekaligus memiliki kapasitas setara dengan global best  practices. Pemain-pemain lokal seperti Garuda Indonesia, BRI, Sosro, BCA, Indomaret, Alfamart, Indofood, atau Garuda Food ada di posisi ini. Merek-merek lokal di posisi ini paling siap dalam  menghadapi merek global secara head-to-head dengan cara membangun local differentiation.  Garuda Indonesia misalnya, membangun local differentiation dengan  menggunakan identitas Indonesia dalam strategi branding-nya. Garuda  Indonesia juga mengembangkan “Indonesia experience” dalam inflight services-nya melalui sight, sound, scent, taste, touch yang bernuansa kekayaan budaya Indonesia.
Merek Anda masuk di posisi mana? So, kini Anda tahu apa yang harus dilakukan!
SUMBER
No comments:
Post a Comment