Monday, 14 November 2011

Siapa Bilang Media Sosial Itu Gratis

Benarkah media sosial itu layanan yang selalu gratis? Mengapa agensi-agensi pemasaran itu mengenakan biaya ratusan juta?

***


Syahdan pada sebuah siang yang mendung. Seorang kawan yang menjabat brand manager perusahaan nasional tiba-tiba menelepon dan berkeluh kesah. Bukan karena dia menghadapi masalah rumah tangga, melainkan lantaran merasa tertipu oleh sebuah agensi yang meminta ratusan juta rupiah untuk tarif kampanye produk baru melalui media sosial. Padahal teman saya mengira yang namanya media sosial itu serba gratis. Kalaupun butuh biaya, biasanya tak terlalu membuat kantong jebol.

Mendengar keluhan teman itu, saya jadi teringat artikel B.L. Ochman, pemasar dan narablog Whatsnextonline. Menurut Ochman, orang memang sering salah paham tentang media sosial. Kesalahpahaman ini dipicu oleh mitos-mitos tentang media sosial. Apa saja?

1. Media sosial murah. Memang layanan media sosial tersedia secara gratis. Contohnya YouTube, Flickr, dan blog. Tapi untuk menyatukan semua media itu dalam satu program pemasaran digital tentu saja membutuhkan keterampilan, waktu, dan dana yang tak sedikit. Di Amerika, anggaran sebuah kampanye pemasaran dengan media sosial kira-kira mencapai Rp 500 juta untuk jangka waktu dua-tiga bulan.

Di Indonesia? Seorang kawan yang bekerja di sebuah agensi membisikkan angka Rp 150 juta untuk program satu bulan. Bisa kurang, bisa lebih. Tergantung media sosial yang digunakan, kompleksitas program kampanye, cakupan khalayaknya, berapa banyak influencer yang disewa, dan sebagainya.

Biaya itu dipakai untuk, antara lain, membuat situs/blog yang mampu menggabungkan interaktivitas, penggunanya bisa ikut membuat konten (user-generated content), serta transaksi daring (online). Tarif pembuatan blog ini bisa bertambah bila ada widget khusus, misalnya tombol untuk berbagi informasi ke Twitter, Facebook, dan Flickr. Kalau ditambah dengan pemasangan iklan di Google AdWord atau Facebook, kocek pun harus dirogoh lebih dalam.

2. Media sosial itu gampang. Semua orang bisa. Bahkan banyak orang yang belakangan ini mengaku sebagai spesialis pemasaran digital atau pakar media sosial. Tapi berapa banyak di antara mereka yang benar-benar pernah sukses menjalankan sebuah kampanye pemasaran memakai media sosial?

Memang hanya diperlukan lima menit untuk mendaftarkan diri di sebuah layanan media sosial. Tapi dibutuhkan berpuluh-puluh purnama agar seseorang benar-benar memahami seluk-beluk media sosial. Pakar media sosial sejati biasanya telah berpengalaman bertahun-tahun aktif di mayantara. Ia juga terbiasa dengan adab di ranah blog dan forum serta mengetahui perilaku konsumen di ranah daring. Pengalaman tersebut diperlukan untuk mengenali karakteristik setiap jenis media sosial, apa kelebihan dan kekurangan masing-masing, sebelum membuat sebuah program.

3. Media sosial dapat dikerjakan sendirian. Ini anggapan yang salah. Anda membutuhkan strategi, kontak, alat kontrol, dan pengalaman–kombinasi pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh sebuah tim. Jarang sekali ada satu orang yang mampu mengerjakan semuanya, memproduksi konten, mempopulerkannya, mengundang orang datang, mengiklankan diri, menyebar surat elektronik, memantau percakapan, dan aneka pekerjaan media sosial.

4. Media sosial secara otomatis mengundang orang. Ini juga anggapan yang salah. Tak ada jaminan bahwa video yang kita buat di YouTube pasti akan laris ditonton, seperti Keong Racun yang dinyanyikan secara lipsync oleh Shinta dan Jojo. Diperlukan upaya dan kerja keras agar khalayak datang dan berteriak, “Wah, ini keren!”

5. Media sosial tak dapat diukur efektivitasnya. Ini pun anggapan yang salah. Ada beberapa alat ukur dan metode pengukuran, termasuk menghitung berapa jumlah komentar yang masuk di blog, respons di Twitter, jumlah pengeklik iklan. Tersedia pula layanan statistik daring yang menyuguhkan data aktivitas kunjungan ke situs, misalnya Google Trends dan Analytics, fasilitas pencarian di Twitter, BackType, dan sebagainya.

sumber

No comments:

Post a Comment