Monday 29 July 2013
Perangkap Pemasaran Bulan Puasa Ramadan
Ramadan 1434 H telah tiba. Yang selalu membuat kita pusing adalah kenaikan harga barang-barang, konsumen semakin konsumtif dan segelintir orang memanfaatkan momen Ramadan untuk mendulang fulus lebih besar.
Ekonomisasi Ramadan
Kecenderungan tersebut ditangkap juga oleh Huffington Post yang baru-baru ini menurunkan artikel mengenai gejala peningkatan belanja Ramadan yang terjadi di Amerika Serikat dalam beberapa tahun belakangan ini (edisi 8 Juli 2013). Jumlah kaum muslim di AS yang meningkat dua kali lipat, kini 2,6 juta jiwa, dalam dua dekade terakhir ini menyebabkan konsumsi produk yang berhubungan dengan kebutuhan kaum muslim meningkat, terlebih di bulan Ramadan.
Peningkatan serupa terjadi juga di banyak negara muslim atau negara dengan mayoritas penduduk muslim. Sejauh ini hal tersebut masih dibantah sebagai upaya ekonomisasi Ramadan oleh sejumlah entrepreneur muslim di Amerika Serikat dan negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya.
Mereka masih menganggap fakta-fakta yang mengarah pada ekonomisasi dari pelaksanaan Ramadan tersebut sebagai anugerah dalam bulan Ramadan. Terlepas dari debat itu, patut dipikirkan dalam-dalam peran marketing dalam mengemas semua kebutuhan Ramadan dan lebaran yang membuat konsumen tergoda untuk berbelanja.
Perangkap Marketing
Perkembangan teknologi informasi yang terbuka lebar dan melintas batas negara, memberikan pengaruhnya dalam berbagai hal. Termasuk di dalamnya dalam pemasaran produk yang berhubungan dengan kebutuhan Ramadan. Produk dikemas apik dengan pendekatan bahasa yang beragam untuk menyasar target yang juga bervariasi.
Bila tak jeli, konsumen akan terbawa dalam “perangkap marketing”. Huffington Post menyebutkan bahwa dari catatan Pan Arab Research Centre tiga tahun lalu, belanja iklan di Mesir melonjak hingga USD142 juta, atau meningkat tiga kali lipat dibandingkan bulan lain di luar Ramadan pada tahun itu. Paket-paket ziarah ke Tanah Suci pada Ramadan juga banyak dikomunikasikan dan tercatat amat laris.
Padahal, paket Ramadan ini mencapai titik cost tertingginya yang melipatgandakan transaksi yang mengiringinya, mulai biaya transportasi, akomodasi, sampai biaya belanja oleholeh. Walaupun belum dijumpai rilis resmi, secara kasat mata dapat dilihat belanja iklan di Tanah Air juga meningkat pesat selama Ramadan. Iklan produk bernuansa Ramadan bermunculan dalam berbagai media iklan yang ada.
Para pemasang iklan pun merentang lebar jenis bisnisnya, mulai produsen produk konsumsi hingga berbagai yayasan yang mengelola zakat dan sedekah. Semua seakan turun gunung untuk beriklan. Patut diduga bahwa pengalaman beriklan tahun sebelumnya memberikan dampak signifikan terhadap respons pasar atas produk. Akan sangat sayang bila kesempatan untuk merebut pangsa pasar melalui iklan diabaikan begitu saja pada tahun ini dan tahun berikutnya.
Dari sisi konsumen, peningkatan transaksi sejalan dengan peningkatan kebutuhan pada Ramadan dapat dianggap wajar sekaligus tidak. Wajar karena orang merespons Ramadan sebagai sebuah berkah yang disambut gembira. Menjadi tidak wajar dan tidak disarankan karena agama Islam mengajarkan kesederhanaan, termasuk dalam bulan Ramadan.
Selanjutnya, gelombang ekonomisasi ini kelihatannya tidak akan terbendung. Akan terus berjalan seiring dengan semakin terbukanya arus teknologi komunikasi dunia. Bentuk bujukan iklan sebagai upaya pemasaran suatu produk akan terus bermunculan. Diperlukan kebijakan konsumen dalam merespons semua itu.
Dalam konteks Ramadan, konsumen muslim patut mencermatinya dengan seksama sehingga tidak terbawa arus dan menjadi bermegahmegah secara tidak pada tempatnya. Bukankah Islam menghendaki Ramadan sebagai sebuah oase untuk merenungkan makna hidup ini dan bercakapcakap lebih banyak dengan-Nya. Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadan!
SAFRITA AYU HERMAWAN
Praktisi Komunikasi dan Marketing
(Koran SINDO//wdi)
SUMBER
Labels:
Bisnis,
Marketing,
Sosial Budaya
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment