Sunday, 29 April 2012

Cerpen : "Jendela"


Vancouver...
kota indah yang membuatku mengucap satu kata "waah!"
suatu keinginan, atau mungkin mimpi, mimpi yang dibatasi.
bukan karena sekedar keinginan saja.
Aku ingin kesana...
suatu saat nanti mungkin, pertama yang ingin kulakukan disana.
berteriak dan duduk menyendiri dipinggir danau tengah kota.
memandang keelokkan kota impian ini.
gemerlap lampu kota bagaikan gelora semangatku.
aku hanya bisa menjadikan wallpaper di netbookku.
sesekali menatapnya dan berkata "kapan aku bisa menapakkan kaki dikota ini?"

namun hanya mimpi yang dibatasi sajalah ketika kita putus asa.
jangan...
aku ingin bukan hanya sekedar ingin, tapi mimpi.
lebih dari sekedar kesenangan. kesenangan yang akan melimpah.
lebih dari ketika ku melihat sosok ayahku.
haah... beginilah hidup. terkadang menyusahkan, namun terkadang menyemangati.

berawal dari sebuah kejadian menggemparkan nurani.
ketika aku menjadi seorangan badungan jalanan yang tak tahu arah tujuan.
arus pergaulan membawaku, membawa ke suatu hal yang bukan menjadi idaman setiap orang.
semua orang menyadari, mungkin hanyalah istilah blacklist yang kini menjadi julukanku.


orangtua....
banyak istilah untuk mengartikan kata ini.
mother like superhero, father my hero, family are never ending
motherfucker, atau apalah itu. aku tak lagi peduli.
yang ada dipikiranku hanyalah, kenapa ?
orangtua aku benci mereka. sesuatu yang menjadi keinginanku dengan mudahnya mereka berkata tidak.

namun lain dengan ini...
orangtuaku syok ketika aku divonis hampir gila gara gara narkoba yang kukonsumsi setiap hari.
aku hampir gila, mungkin sudah. otakku paraah.
badanku penyakitan. haah apa ini Tuhan ? cobaan lagi ? oke...
ayahku, sosok yang kubenci selamanya.
justru pergi ketika aku dan ibukku membutuhkannya.
it's okay, aku bisa terima.
dan aku hanya bisa berkata "ohh bajingan sekali dia"
sambil tertawa terbahak bahak menertawai dunia ini.
dunia yang baik hati dan suka menabung. ohh betapa murkanya.
setiap hari aku harus dihadapkan dengan 2 orang suster bodoh,
setiap aku teriak, mereka spontan menindihi kakiku dengan bokong dan satunya lagi memegangi tanganku.
"heiii aku ini waras... justru kalian yang gila, memperlakukan orang waras seperti orang gilaa."
aku gila dianggapnya, gara gara beberapa slop obat-obatan yang kubeli dari teman karibku, sahabat.
"siaal, dia justru menyiksaku sekarang'
ketika aku tiap hari nya harus memakan 5 biji mentah mentah.
"flyyy..."
flyyy sekarang gak ada artinya, sekarang yang kurasa cuma siksaan bertubi-tubi dari tubuh sendiri
oh GOD terimakasih, busuk sekali hidupku ini.
menjadi orang yang besar obsesi tapi cuma mimpi, sesekali mengucap aku ingin aku ingin.
ingin apa ? ingin mati... ? silakan, aku lebih baik mati daripada sepeti ini.
tubuh yang tak lagi mendukung mimpi, tak guna lagi.

namun apa daya, dunia memang berputar.
dulu betapa indahnya ku jalani hidup utuh bersama ayah dan ibuku tapi sekarang untuk memanggil nama ayah saja
aku mungkin bisa muntah, aku benci dia. maafkan aku.
beberapa kali ku berusaha untuk mengakhiri hidupku sendiri dengan sebilah kaca dari kamar mandi,
masih saja selalu di gagalkan oleh suster-suster bodoh itu.
"hey aku suka daraah, kalian bodoh.... lepaskan aku!."
paaraahh... itu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaanku saat itu.
benar benar seperti orang yang tak ada gunanya lagi, tapi kenapa aku tak boleh mati.
tak pernah aku sedikitpun berpikir positif yang baik untuk diriku sendiri.
2 tahun berada direhab, tidak membuatku lebih baik.
dari rehabilitasi, dilanjut kerumah sakit karena aku divonis kanker otak.
dampak dari obat-obatan tingkat tinggi itu, namun semua tak pernah kusesali.
karena sudah ditakdirkan aku memang bukan orang yang berguna.
aku teriak setiap kali ibuku menangis melihat keadaanku.
"kenapa ?? buang buang tangismu, urus saja suami barumu. tak perlu kau pikirkan aku"

sendiri, sepi, mungkin inilah satu-satunya yang menjadi keinginanku.
jendela dan gordin putih menjadi pemandanganku setiap harinya, aku ingin tahu ada apa diluar sana.
apakah orang-orang yang sedang bersenang-senang menikmati hidup. ?
kucoba beranjak dari tempat tidurku, tangan, kakiku masih lemas kumencari benda-benda yang mampu kupegangi menuju luar jendela itu.
mataku sedikit menyipit ketika cahaya dari luar jendela kusentuh, melihat dari atas sini memang suatu pemandangan yang luar biasa.
perlahan ku memalingkan wajah kekanan kiri, pandanganku tertuju pada seorang kakek dengan cucu yang masih balita.
setelah kupandang cukup lama, dan kutau bahwa kakek itu buta dan cucunya itu polio. tapi mereka masih bisa tertawa,
sesekali bocah itu teriak memberi aba-aba kemana arah mereka berjalan. dua orang yang saling melengkapi.
aku tersenyum melihat mereka, mungkin mereka telah menjalani hidup yang lebih kejam daripada aku.
mungkin apa yang aku rasakan saat ini bukan apa-apa dibanding mereka. kututup jendela kamar karena udara diluar
lumayan dingin kurasakan. ternyata benar, apa yang banyak orang katakan. bukalah jendela, karena kau akan melihat dunia.

dikepalaku tak ada sehelai rambutpun, kepalaku botak, karena kemo setiaphari.
aku mendengar percakapan dokter dengan ibuku, yang mungkin sengaja dirahasiakan padaku.
umurku mungkin tinggal beberapa bulan lagi. bukan takut yang kurasakan, namun senang, tersenyum ketika mendengar berita itu.
berarti aku tak lagi menyusahkan banyak orang, suster tak lagi punya pasien seperti ku. menyusahkan semua orang.
satu pintaku bawa mayatku yang busuk ke vancouver. mungkin disana arwahku akan melanjutkan mimpiku.

satu bulan berlalu, masih dengan bolak balik kerumah sakit. kemo, cuci darah, membuatku bukan semakin lebih baik, justru semakin tersiksa.
jendela kamar rumah sakit terbuka aku curiga, perlahan kuhampiri. ada balon merah berada dipojokan jendela.
ujung tali balon itu ada secercah kertas, kubuka kertas itu.
aku tak melihat kata-kata, cuma ada angka di kertas ini. ada saldo bulan april 2001 sampai sekarang 2010.
terselip dipikiranku, siapa yang menerbangkan uang sebesar ini ?
tiba-tiba ibuku muncul dari balik pintu kamar, "sudah kau lihat nak?"
"apa ini ?" sahutku kebingungan.
ibuku tersenyum dan menggenggam tanganku. dan berbisik "sejak pertama kali kau bilang ingin ke vancouver, sejak taman kanak-kanak kan?
ibu langsung berniat menabung untuk kelangsunganmu besok, ibu ingin kau senang, ibu ingin cita-citamu tercapai disana, maafkan ibu nak.
selama ini ibu cuma bisa ngasih ini. "
baru kali ini kuteteskan air mata, ibuku ternyata susah payah menabung demi aku ? demi cita-citaku ?
tapi semua diluar dugaan, bagaimana dengan keadaanku yang seperti ini? tidakk, aku gak boleh nyerah.
aku harus ke vancouver. aku ingin melanjutkan studi kesana. benar-benar suatu yang sangat membuatku terharu. terimakasih ibu.

langit pagi itu benar-benar indah, yang sebelumnya belum pernah kumelihatnya.
apalagi dilihat darii jendela ini, burung, awan terlihat jelas dari sini. benar-benar dunia yang aku lihat sekarang.
vancouver aku datang...
perasaan senang mengalahkan rasa sakit dikepalaku. mungkin inilah hidup yang sebenarnya, benar-benar berputar.
terselip ingatanku pada kakek dan cucunya itu, mereka saling melengkapi mereka tersenyum dengan kekurangan mereka.
tak pernah sedikitpun meratapi hidup. sesuatu akan indah pada waktunya.


aku menangis melihat vancouver, ternyata lebih indah dari pada wallpaper netbookku itu. lebih indah dari bayanganku selama ini.
oh GOd, inilah takdirku ? menjadi seorang yang besar obsesi dan terpenuhi. terimakasih tuhan ini indah sekali.
aku teriak dalam tangisanku, tertawa lpas dipinggir sebuah danau tengah kota. dengan lampu-lampu gemerlap bagaikan semangat hidupku kini.
warna ungu menjadi dominan lampu vancouver, betapa indahnya ini semua ini benar-benar menghilangkan rasa sakit dikepalaku.
aku tak ingin beranjak dari sini, seperti awal keinginanku. aku ingin duduk dipinggir danau ini. menatap indah dan menertawakan keberhasilanku.

tiba-tiba mataku terbuka dan yang pertama kulihat hanya langit-langit kamar berwarna putih. dengan tubuhku yang lemas, hampir semua
tak bisa digerakkan. kata orang-orang aku ditemui tergeletak dipinggir sungai, lalu mereka membawaku kerumah sakit.
aku sadar sebuah selang oksigen melekat dihidungku, dan pendeteksi detak jantung berada disampingku.
tubuh ini sulit kugerakkan, padahal aku ingin kejendela itu. perlu banyak usaha untuk menggerakakn jempol tanganku saja.
ada apa ini/ inilah akhir ajalku ? aku akan tenang nanti, karena aku disini, di vancouver.
ibuku tahu semua keinginanku, dia membuka jendela kamar rumahsakit yang tepat didepanku. aku tersenyum melihat kearah jendela itu.
bukit-bukit vancouver terlihat jelas dari sini, bangunan-bangunan pencakar langit terlihat gagah berdiri ditanah vancouver.
tuhan terimakasih, aku akan mati tenang.



No comments:

Post a Comment