Saturday, 4 February 2012
Filantropi Di Kebisingan Mesin Bajaj
Topik yang saya angkat ini cocoknya dijadikan bahan cerita Anda disaat waktu senggang Anda bersama teman yang cerdas sambil minum kopi bersama di kafe favorit Anda. Apalagi saya yang berdomisili di Medan tidak jauh berbeda keadaannya dengan ibukota Jakarta :)
Anda tahu angkutan kota bernama bajaj? Ya, inilah angkutan kota yang sempat menjadi angkutan transportasi favorit di zamannya di daerah ibukota bahkan hingga detik ini. Berdasarkan pengalaman saya, dengan mengusung engine mirip mesin vespa, raungan khas mesin bajaj menjadi ciri khas tersendiri untuk angkutan kota yang satu ini. Bising/ribut setengah mati ! Mungkin kalau tidak bising dan ribut bukan bajaj namanya :)
Sempat terpikir oleh saya bagaimana kehidupan tukang bajaj ini mengendarai kendaraan kesayangannya ini mencari penumpang dengan suara bising mesin bajaj yang menjadi pendengarannya sehari-hari. Anda tahu tingkat kebisingan suara mesin bajaj ? Bagi Anda yang awam, suara yang dihasilkan mesin bajaj berkisar rata-rata 91 db (desibel)dengan tingkat getaran 4,2 meter perdetik kuadrat. Sedangkan standar kesehatan menurut WHO dan Occupational Safety and Health Administration (OSHA) yaitu tidak lebih dari 85 db selama 8 jam sehari dan getaran tidak lebih dari 4 meter perdetik kuadrat. Maka dari hasil penelitian menunjukkan sekitar 70 persen supir bajaj menunjukkan gangguan kesehatan seperti gangguan pendengaran dan gangguan keseimbangan. Yang masih sehat adalah sisanya
Nah, gangguan ini muncul lebih cepat tatkala supir bajaj sudah berumur 40 tahun. Faktor lain yang mempengaruhi adalah masa pengabdian sebagai supir bajaj yang sudah bertahun-tahun berprofesi sebagai supir bajaj, sehingga bisa dibayangkan bagaimana sang supir harus berkutat dengan suara bising dan getaran mesin bajaj selama bertahun-tahun yang menjadi bumerang bagi kesehatannya.
Tapi apa yang mau dikata. Menjadi supir bajaj adalah suatu keharusan tatkala minimnya lapangan pekerjaan yang layak bagi sang pencari nafkah di Indonesia.
Dengan menjadi supir bajaj yang mayoritas sudah berkeluarga, menjadi penyambung hidup bagi dirinya, anak-anaknya dan juga istrinya ditengah makin sempitnya lapangan kerja yang layak.
Maka tatkala saya melihat bajaj yang melintas dihadapan saya, maka seketika itu juga bayangan dibenak saya berkecamuk, didalam bajaj itu ada satu orang yang sedang mengorbankan pendengarannya demi sesuap nasi.
Sungguh menjadi ironi.
Labels:
Sosial Budaya
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment